Islam diturunkan ke bumi
dilengkapi dengan jalan kehidupan yang baik (syari’ah) yang
diperuntukkan untuk manusia, yaitu berupa nilai-nilai agama yang diungkapkan
secara fungsional dan dalam makna yang konkret yang ditujukan untuk mengarahkan
kehidupan manusia, baik secara individual maupun secara kolektif kemasyarakatan
(social).
Untuk mencapai maqashid asy-Syari’ah,
diperlukan perangkat untuk menganalisis setiap perbuatan hukum yang dilakukan mukallaf dalam
kehidupan pribadi dan sosialnya. Sehingga, apa yang dikehendaki syari’ah dalam
mengatur hubungan secara vertical (hablun minallah) maupun hubungan secara
horizontal (hablun minannas) dalam rangka mencapai kemaslahatan umum. Itulah
sebabnya,maqashid asy-syari’ah dipandang urgen untuk dikaji secara intens oleh
para pengkaji dan pemerhati masalah fiqh dan ushul fiqh, khususnya dikalangan
akademisi muslim.
Maqhasid Syari’ah
1. Pengertian
Dari
segi bahasa, maqashid asy-Syari’ah terdiri dari dua kata yaitu maqashid dan
syari’ah. Maqasyid adalah bentuk jamak dari maqsud yang berarti kesenjangan
atau tujuan, dan syari’ah secara bahasa berarti jalan menuju sumber air.
Makna jalan menuju sumber air dapat pula dikatakan sebagai jalan kea rah sumber
utama kehidupan.
Secara
teologis syariat bisa dilihat dari tujuan tertentu yang akan dicapai dengan
bersandar pada kehendak pembuat syari’ah yaitu Allah. Untuk mewujudkan kehendak
tersebut, maka dimuncullah teori maqasyid asy-syaria’ah, untuk dijadikan metode
pengembangan nilai-nilai yang terkandung dalam syariat dan ruh (jiwa) hukum
islam dalam menghadapi setiap perubahann social. Teori ini pertama kali
dicetuskan oleh Imam al-Juwaini, kemudian dikembangkan oleh muridnya imam
al-Ghazali dan diteruskan oleh Imam asy-Syatibi. Imam al-Ghazali mengatakan
“sesungguhnya tujuan syara’ dari (kehidupan) manusia itu (tujuannya) ada lima
macam, yaitu memelihara agama mereka, jiwa mereka, akal mereka, keturunan
mereka dan harta benda mereka.
Dengan
demikian, pengetahuan tentang maqasyid asy-syari’ah menjadi kunci bagi
keberhasilan para ulama ushul fiqh. Abu Zahrah mengatakan, tujuan hakiki hukum
islam adalah kemaslahatan, tak satupun hukum yang ditetapkan baik dalam
al-qur’an maupun hadits melainkan didalamnya ada kemaslahatan.
2. Maqasyid asy-Syari’ah sebagai teori Fiqh
Maqasyid
asy-Syari’ah (tujuan-tujuan syara’ dalam menetapkan hukum) sebagai teori
bermaksud untuk menjamin, memberikan perlindungan dan melestarikan kemaslahatan
bagi umat manusia secara umum, umat islam khususnya. Ada tiga aspek yang harus
dilindungi dan dilestarikan adalah sebagai berikut :
a. Dlaruriyyat
Secara
bahasa dlaruriyyat berarti kebutuhan yang mendesak yaitu untuk memelihara lima
unsur pokok yang esensial sebagai berikut :
- Memelihara agama
Memelihara
agama islam dengan meyakini akidah yang benar dan lurus serta melakukan ibadah
secara tulus, sekaligus melarang secara tegas hal-hal yang dapat merusak
eksistensinya. Menjaga kesucian dan kemurnian agama termasuk sikap yang sangat
terpuji dan mulia di sisi Allah. Agama diatas segala-galanya dan kedudukannya
lebih penting daripada jiwa. Misalnya kewajiban mendirikan shalat yang
ditegaskan oleh Allah dalam QS. Al-Ankabut : 45).
- Memelihara jiwa
Kewajiban
untuk berusaha memeperoleh makanan, minuman dan pakaian untuk mempertahankan
hidupnya. Anjuran Allah lewat firman-Nya yaitu QS. Al-Maidah : 88) yang artinya “
dan makan dan minumlah kalian dan janganlah berlebih-lebihan”.
- Memelihara akal
Islam
wajib mewajibkan untuk menuntut ilmu agar manusia memperoleh pengetahuan dengan
cara memperdayakan potensi akal yang telah dianugerahkan Allah kepada manusia.
Sehingga pendidiakn mutlak diperlukan manusia, guna menjaga akalnya agar tidak
rusak akibat perbuatan-perbuatan yang dapat membawa kehancuran. Misal dalam
QS.al-Baqarah: 2) yang artinya “mereka (para peminum khamr) bertanya
tentang khamr, katakana bahwa ia merupakan perbuatan dosa, maka jauhilah”.
- Memelihara keturunan
Kewajiban
untuk menghindarkan diri dari berbuat zina. Begitu juga hukuman yang dikenakan
kepada pelaku zina, laki-laki atau perempuan. Dalam QS. Al-Isra’: 32) yang
artinaya “ jaganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah
perbuatan keji dan seburuk-buruk jalan”.
- Memelihara harta
Kewajiban
untuk menjauhi tindakan-tindakan yang dapat menimbulkan kerugian seperti:
pencurian, perampokan korupsi dll. Firman Allah dalam surat an-Nisa’ yang
artinya “hai orang-orang yang beriman janganlah kalian makan harta dengan
cara yang batil”
b. Al-Hajiyah
Hajiyyat
secara bahasa berarti kebutuhan adalah aspek-aspek hukum yang dibutuhkan untuk
meringankan beban teramat berat, sehingga hukum dapat dilaksankan tanpa rasa
tertekan dan terkekang. Dalam arti, kalau factor hajiyyat itu tidak ada,
maka akan terjadi ketidaksempurnaan atau mungkin kesulitan dan tidak sampai
menimbulkan kehancuran dalam kehidupan manusia.
c. Al-Tahsiniyyah
Tahsiniyyat
secara bahasa berarti hal-hal penyempurna, dimaksudkan agar manusia dapat
mengerjakan yang terbaik dalam rangka menyempurnakan kelima perkara tersebut.
Syukur,
Sarmin, 1993. Sumber-Sumber Hukum Islam. Surabaya: Al-Ikhlas.
Haroen,
Nasrun, 1996. Ushul Fiqh. Jakarta: Logos Publishing House.
Pokja
Akademik, 2005. Fiqh & Ushul Fiqh. Yogyakarta:
Pokja Akademik UIN Sunan
Kalijaga.
Umar,
Muin dkk, 1985. Ushul Fiqh 1. Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar