Ketika manusia mencoba mengupas keagungan
Al-Qur'an Al-Karim, maka ketika itu pulalah manusia harus tunduk mengakui
keagungaan dan kebesaran Allah swt. Karena dalam Al-Qur'an terdapat lautan
makna yang tiada batas, lautan keindahan bahasa yang tiada dapat dilukiskan
oleh kata-kata, lautan keilmuan yang belum terfikirkan dalam jiwa manusia dan
berbagai lautan-lautan lainnya yang tidak terbayangkan oleh indra kita.
Oleh karenanya, mereka yang telah dapat
berinteraksi dengan Al-Qur'an sepenuh hati, dapat merasakan ‘getaran keagungan'
yang tiada bandingannya. Mereka dapat merasakan sebuah keindahan yang tidak
terhingga, yang dapat menjadikan orientasi dunia sebagai sesuatu yang teramat
kecil dan sangat kecil sekali. Sayid Qutub, di dalam muqadimah Fi Dzilalil Qur'annya
mengungkapkan:
“Hidup di bawah naungan Al-Qur'an merupakan suatu
kenikmatan. Kenikmatan yang tiada dapat dirasakan, kecuali hanya oleh mereka
yang benar-benar telah merasakannya. Suatu kenikmatan yang mengangkat jiwa,
memberikan keberkahan dan mensucikannya.... Dan Al-Hamdulillah... Allah telah
memberikan kenikmatan pada diriku untuk hidup di bawah naungan Al-Qur'an
beberapa saat dalam perputaran zaman. Di situ aku dapat merasakan sebuah
kenikmatan yang benar-benar belum pernah aku rasakan sebelumnya sama sekali
dalam hidupku.”
Cukuplah menjadi bukti keindahan bahasa Al-Qur'an, manakala diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq dari Imam Zuhri (Abu Syahbah, 1996 : I/312):
Bahwa suatu ketika, Abu Jahal, Abu Lahab dan Akhnas bin Syariq, yang secara sembunyi-sembunyi mendatangi rumah Rasulullah saw. pada malam hari untuk mendengarkan lantunan ayat-ayat Al-Qur'an yang dibaca oleh Rasulullah saw. dalam shalatnya. Mereka bertiga memiliki posisi yang tersendiri, yang tidak diketahui oleh yang lainnya. Hingga ketika Rasulullah saw. usai melaksanakan shalat, mereka bertiga memergoki satu sama lainnya di jalan. Mereka bertiga saling mencela, dan membuat kesepakatan untuk tidak kembali mendatangi rumah Rasulullah saw.. Namun pada melam berikutnya, ternyata mereka bertiga tidak kuasa menahan gejolak jiwanya untuk mendengarkan lantunan ayat-ayat tersebut. Mereka bertiga mengira bahwa yang lainnya tidak akan datang ke rumah Rasulullah saw., dan mereka pun menempati posisi mereka masing-masing. Ketika Rasulullah saw. usai melaksanakan shalat, mereka pun memergoki yang lainnya di jalan. Dan terjadilah saling celaan sebagaimana yang kemarin mereka ucapkan. Kemudian pada malam berikutnya, gejolak jiwa mereka benar-benar tidak dapat dibendung lagi untuk mendengarkan Al-Qur'an, dan merekapun menempati posisi sebagaimana hari sebelumnya. Dana manakala Rasulullah saw. usai melaksanakan shalat, mereka bertiga kembali memergoki yang lainnya. Akhirnya mereka bertiga membuat ‘mu'ahadah' (perjanjian) untuk sama-sama tidak kembali ke rumah Rasulullah saw. guna mendengarkan Al-Qur'an.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar